Kamis, 23 Juni 2011

Save Me™, Mr. Guitar®...

Sendiri berdiri di sebuah halte. Uang di saku celanaku tinggal dua ribu rupiah. Pulsa telepon genggam ku pun tak mencukupi untuk mengirim barang satu sms pun. Ah, perut keroncongan dan terik siang ini benar-benar membakar kulit. Aku ingin pulang. Tapi tak lagi cukup uang ini untuk mengongkosiku.

Gitar, ya hanya itu yang Aku punya selama ini. Dibalut hardcover hitam yang menjaganya dari debu, dengan PeDe Aku selalu bawa kemanapun Aku pergi. Kenapa gitar tersebut selalu Aku bawa? Karena gitar itu adalah benda yang bisa mendekatkan Aku dengan Ayah. Bermula pada kelas 1 SMP, Ayah sudah mulai mengajariku bermain gitar. Hingga hari ini, gitar adalah satu-satunya “nyawa” bagi kehidupanku di Surabaya. Mulai dari nge-band bersama kawan-kawan seperjuangan, hingga terpaksa mengamen jika Dompetku mulai tipis. Selain itu, gitarku ini sangat berguna. Karena ia dibalut hardcover tebal yang pasti tahan air, jika hujan biasanya Aku jadikan sebagai paying darurat.

Kehidupanku di Surabaya bermula ketika Aku memutuskan untuk hidup di kota seberang, untuk mencari nafkah untukku sendiri. Kenapa aku pindah, alasannya hanya satu. Aku benci keramaian Jakarta. Entah kenapa, hatiku lebih memilih untuk angkat kaki dari Jakarta yang ramai, meskipun Orangtuaku termasuk orang yang berada, tapi Aku benci “keberadaan” mereka. Dengan berat hati, Ayah dan Ibu melepasku untuk pergi ke Surabaya akhir tahun lalu. Ya, meskipun berat,  Aku lebih suka hidup mandiri, ketimbang aku hidup bergantung kepada Orangtua.

Hari ini, Aku berdiri di halte bis untuk kembali ke kosan ku. “Gimana pulangnya nih? Duit tinggal 2 rebu!” batinku kesal dalam hati. Tiba-tiba, Tuhan memberiku pengingat bahwa aku membawa Gitar. “Oh yeah, lets play for them, Mr. Guitar!” batinku girang. Dengan semangat, Aku keluarkan gitar dari cover nya, menaruh cover nya di depanku. Let’s Play! Dengan bersemangat, mulai Aku nyanyikan lagu-lagu The Beatles kesukaanku. “Its been a hard day’s night…” nyanyiku. Beberapa orang mulai meperhatikan dengan kagum. Setelah lagu Hard Days Night usai, applause mulai berdatangan kesana kemari, tak lupa juga, dari tangan orang-orang dermawan itu meluncur uang pecahan ribuan. Alhamdulillah. Tapi, hari itu ada seorang gadis yang membuat special. Siapa namanya? Entahlah, aku hanya melihat dia sekilas saatku menyanyi tadi. Dengan paras wajah yang sederhana, dia mampu memikat hatiku yang sedang gundah. Amboi, siapa gerangan dia? Ah, sudahlah. Yang terpenting saat ini adalah aku bisa kembali ke kamarku yang nyaman. Alhamdulillah.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar…” Suara adzan syahdu ini membangunkanku untuk segera shalat shubuh. Hari ini hari Minggu. “Ngapain ya enaknya?” Batinku. Mulai melucur beberapa ide, tapi yang Aku lakukan hanya satu, aku kembali ke halte untuk menyanyi lagi. Sekaligus mencari tahu siapakah gadis yang kemarin memikat hatiku. Di sana, tidak seperti yang kubayangkan. Ramai luar biasa ramai. Orang berlalu-lalang layaknya semut yang sedang keluar dari sarang. “Batalin aja kali yak?” kataku sangsi. Akhirnya, dengan keputusan amat berat, aku kembali ke kosan karena mempertimbangkan keraimain halte tadi. Selamat tinggal gadis “Sang Pengikat Hati”. Mungkin engkau bukan jodohku.
“Masya Allah, mana dompetku?” kataku panik. Sementara sang kenek bus sudah mneriakkan tempat tujuan di mana kosan ku berada. “Weleh, bejimane nih urusannye? Gimana lagi gue bayarnya?” Batinnku mulai panik. Aku cari hingga ke dalam kaus kaki yang biasanya tersimpan recehan seribu-dua ribu, juga tidak ada. Jurusanku sudah mulai dekat, Aku mulai panik dan mecoba membuka cover gitar. Alhamdulillah, untungnya sisa uang kemarin masih ada yang aku sisakan di dalam box gitar ini. Masalah bus selesai, tapi bagaimana masalah uang untuk membayar kosanku? Ya Allah.

“Tut, tut, tut…” bunyi yang mengusik itu mengganggu tidur lelapku. Hari ini aku harus kembali ke  kantor. Kembali ke halte bus lagi, aku menunggu bus yang menuju kantorku. Tak kusanangka, gadis yang kemarin aku lihat juga duduk untuk menunggu bus. Siapa dia? Tapi setelah kulihat badge seragamnya, nama dia Sarah. Oww, nama yang indah. Tapi, yang aneh, sebelumnya aku tidak pernah melihatnya. “Sapa aja!” kata hatiku dengan semangat. Hendak Aku Katakan “Hai”, tapi apa boleh buat, kami terburu-buru karena bus sudah datang. Ahh, sayang sekali. Aku urungkan niatku untuk menyapanya di bus, karena malu luar biasa. Tak sampai beberapa menit, Aku segera turun dari bus tersebut, karena kantorku cukup dekat.

4.00, waktu kerjaku sudah habis. Dan tentu, uangku juga sudah habis. Aahh, bagaimana ini? “Masa harus ngamen lagi?” batinku kesal. “Gengsi dong ama temen-temen” pikiranku berkata. “Tapi, daripada nggak bisa pulang?” batinku. Ah, korbankan saja gengsi mu! Aku hendak pulang! Mulai saja Aku mengeluarkan Mr. Guitar dari cover nya. Jrennnggg… “Close Your Eyes..” lagu All My Loving dari The Beatles kunyanyikan dengan senang hati. Tidak seperti biasa, kali ini tidak ada yang menghiraukan Aku. Ku coba lagi untuk menyanyi lagu yang lebih familiar dengan Mr. Guitar. “Hey you… Got that something..” I Want To Hold Your Hand dari The Beatles kali ini cukup menyita perhatian orang sekitar.Dipojok, diantara kerumunan penonton, Aku lihat jelas orang yang cukup resmi, terhormat dan pasti terkenal. Tapi, wajahnya aku kenali dengan akrab. “Reno?” batinku sangsi. Apa benar itu Reno kawan SMA dulu? Ku beranikan diri untuk menyapanya. “Reno!!!” sapaku keras. “Siapa ya mas?” Reno memandangku. “Fero, kelas XI IPA yang dulu nge fans ama Beatles. Masa lupa?” jawabku dengan detail. “Masya Allah, ternyata kamu. Apa kabar rek? Makin keren aja main gitarmu” jawabnya sembari jalan. “Baik-baik aja kok Ren, kamu gimana nih? Jadi Major Label perusahaan apa nih?” Jawabku. “Ah, kamu bisa aja Fer. Aku Cuma jadi Major Label Apple Recording Indonesia.” Jawabnya bangga. Apple adalah tempat recording The Beatles di tahun 1960-an. Kebetulan, Aku dan Reno juga penggemar The Beatles pada masa SMA dulu. “Fer, Aku ada proyek nih. Proyeknya juga cukup besar. Mau ngga?” tanyanya kepadaku. “Wah, proyek apaan nih?” jawabku. “Gini, Aku punya rencana buat bikin band baru yang tribute buat The Beatles. Karena tadi kamu nyanyi keren banget, Aku tawarin kamu jadi Vokalis plus Gitaris kayak John Lennon gitu. Mau nggak?”. Waw, tawaran yang sangat menggiurkan buatku. “Ehmmm, gimana ya Ren, ntar deh aku pikir-pikir dulu. Boleh minta nomer HP-mu kan? Kalo Aku setuju dengan tawaran kamu, ntar kita ketemuan lagi deh.” Jawabku. “Oke, no problem. Pokoknya, kalo bisa secepatnya ya. Soalnya, band tribute ini akan dikirim ke Liverpool untuk The Beatles Week Festival.” Jawabnya. Ok, akhirnya obrolan singkat itu akhiri.

“Mas, Aku jadi nerima tawaran sampean. Bisa ketemu ndak hari ini?” tulisku di Handphone-ku dan mengirim ke Reno. HP-ku bergetar, kubuka dan kubaca. “Oke mas. Kita ketemuan di kantor kamu lagi aja. Jam 10.00 ya mas.” Jawabnya.  Ah, waktu masih lama. Aku lebih baik ke halte lagi. Mungkin saja gadis yang dengan misterius memikat hatiku ada di sana. Bersiap dengan Mr. Guitar, Aku bergegas ke halte. Benar saja, di sana Aku langsung bertemu dengan gadis itu lagi. Tak sabar, langsung saja Aku duduk di sebelahnya. “Maaf mbak, dari mana ya mbak?” tanyaku basa basi. “Ehmm, saya anak rantau dari Jakarta. Kalo kamu?” jawabnya malu-malu. “Wah, sama dong kayak saya. Kuliah? Atau sudah kerja?” tanyaku. “Masih kuliah kak, di ITS.” Jawabnya. “Ooo.” Jawabku. Amboi  rasanya. Bisa kenalan dengan dia. Akhirnya, sebelum jam 10.00 dia pergi. Aku pun segela pergi untuk bertemu dengan Reno.
“Assalamu’alaikum Ren.” Sapaku. “Walaikumsalam. Duduk, duduk.” Jawabnya. “Jadi gini, kemarin saya udah dapet 3 personil lagi. Kita langsung saja ya ke studio untuk perekenalan, sebelum lusa ke London.” Apa? London?! Asiiiikk! Langsung saja aku katakana iya. Di Studio, Aku bertemu teman baru yang punya ability  yang sama denganku. George “Heri” Harrison, Ringo ‘Rony’ Star dan Toni McCartney. Setelah perkenalan, kami langsung berlatih dengan alat-alat bersejarah milik Personil Beatles tersebut. Ahhh, begitu menyenangkan hari ini.

Duarrr! Bunyi itu terjadi tepat di belakang kepalaku. Sontak semua kaget dan hampir puluhan pasang mata tertuju pada ramdoor pesawat. Dari speaker kudengar ada pengumuman untuk tetap tenang. Secara tiba-tiba, ada sesorang yang menghampiriku. Dari postur tubuhnya, bisa aku kenali dia berasal bukan dari Asia. Hidungnya mancung, tinggi dan berkulit putih. Memakai baju, celana hingga jas putih. Semakin dekat dan dekat. Dia menghaampiriku dan tanpa Aku sadari, Aku didorong olehnya. Keluar pesawat, dan akhirnya terbangun. Huft. Untung ini hanya mimpi. Hari ini adalah hari yang kutunggu. Jam 10.00 nanti, Aku dan para personil The BeatLess hari ini segera ke London. Keesokan harinya, kami baru pergi ke Liverpool untuk tampil di The Beatles Week Festival. Oh ya, kami juga wakil satu-satunya dari Indonesia dan dari Asean. Hari itu begitu menyenangkan dimana kami disambut dengan baik oleh KBRI di London dan dipersilakan untuk tampil disana. Di London, kami juga tak lupa berwisata. Meski lelah setelah perjalanan jauh, tampang kami tak sedikitpun kuyu pada saat kamera mulai mengambil gambar. Di hari kedua kami di Inggris, kami mulai beranjak ke Liverpool untuk mengikuti The Beatles Week Festival di depan museum The Beatles. Dengan semangat, kami mulai menyanyikan lagu-lagu yang fenomenal dan yang menurut kami everlasting song.  Tiba-tiba, terdengar pengumuman terror bom di sekitar area Beatles Week Festival. “Please to all visitor and audience to leave the area, because we have a bomb terror. SAVE YOUR LIFE!!!!” peringatan dari corong pengumuman di setiap sudut ruangan. Sirene mulai dibunyikan. Dengan sontak, kami dan penonton lain mulai meninggalkan lokasi. “Oh ya, Mr. Guitar!!!!!” kataku. Pikiranku buncah karena aku teringat gitar tersebut. Aku segera kembali ke lokasi yang diancam terror. Dengan jantung yang mulai menabuh dengan kencang, Aku segera mencari dimana Mr. Guitar. Duarrr!!! Ledakan tak terelakkan. Aku melihat hal itu dengan mata kepalaku sendiri. Namun, ada yang aneh di sini. Dari balik asap itu, Aku melihat ada yang janggal. Lengkap dengan alat musik yang di tenteng oleh seseorang yang bertangan kidal. “One, two, three, GO!! Close Your eyes..”. Masya Allah, ITU PAUL MCCARTNEY!! Ckckck, sangat kreatif sekali tim penyelenggara acar ini. Untuk memunculkan salah satu personil Beatles yang sangat fenomenal, mereka membuat kejutan ancaman bom. Aku dan teman-teman lainnya mulai memadati panggung yang sebelumnya tempatku bermain, kini sudah diisi oleh Paul McCartney dan Bandnya. Alhamdulillah, mimpiku tercapai untuk bertemu Paul. “Hey, you there! Want to play together with me?” suaranya lantang. Ternyata, Paul mengajakku untuk bermain bersama di panggung tersebut. Tanpa ba-bi-bu, Aku dengan senang hati menuju stage dan langsung bernyanyi dengan Mr. Guitar-ku.

Hari ini, hari terakhir diriku berada di Negara sepak bola. Di Negara monarki terbesar. Ah, rindu rasanya untuk bernyanyi, mengobrol dengan orang-orang di sini. Ya Allah, izinkan Aku untuk bisa menginjakkan kaki lagi di Negeri ini. Setelah sampai di bandara Soekarno-Hatta, Aku dan personil The BeatLess segera berpisah jalan. 2 hari setelah Aku mendarat di Surabaya, Aku mendapat surat dan cek dari Reno. Surat tersebut berisi ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada seluruh personil The BeatLess yang telah bersedia untuk hadir di The Beatles Week Festival. Selain itu, cek yang diberikan cukup besar, sekitar 35 juta rupiah. Wah, cukup juga untuk kembali pulang ke  Jakarta. Rindu juga Aku dengan ayah. Thanks Mr. Guitar, without you, I can’t go to Liverpool. Without you, I’m nothing.

Mau tau sekuel dari "Save me, Mr. Guitar"? Tunggu edisi selanjutnya pada liburan Kenaikan Kelas (Juni-Juli) Be There!!!

dikirimkan oleh: DAIKAWESA (Dika Muhammad Ridlo) dulu sahabat gw di NFBS,,, hehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar