Sabtu, 24 Desember 2011

Metafora Kehidupan - Wahid Adha

Ditemani gemuruh petir, malam ini ku terdiam menatap secarik kertas, kertas yang baru saja kudapatkan beberapa jam yang lalu setelah kupulang dari kampus, tinta yang tertuang dalam kertas tanpa ada tanda pengirim yang jelas terisi oleh beberapa patah kata yang nampaknya selalu berusaha untuk memotivasiku kali ini, tapi kurasa semua itu tak terlihat bekasnya dalam diriku, terbuang begitu saja, hasratku tak tergerak sama sekali untuk bangkit dari keterpurukan kali ini, tetapi entah mengapa pandanganku tak bisa lepas dari hadapan kertas ini.
Tak terasa waktu berlalu cepat, malam semakin sunyi, senyap dingin menyelimuti diri, tapi mengapa mataku tak lepas dari pandangannya, secarik kertas bertinta hitam tanpa tanda pengirim yang jelas, ditambah dengan hancurnya motivasiku untuk terus belajar dan semangat hidup yang telah lenyap kali ini dalam pikiranku.
“Ah, hancur aja semuanya...” teriakku dalam kamar kosan kecilku
“Arghhhh..” Kembali teriakanku memecah keheningan malam
            Sambil membanting kertas yang telah lama kupandang, kutimpa wajahku dengan bantal bersarung biru kesayangku, tak terasa air mataku telah mengucur deras membasahi wajahku, tangisku membawaku dalam mimpi indah malam ini.
            Kring..Kringg....
            Teriakan alarm pemberian ibuku membakar mimpi indahku, melepaskan wajahku dari atas bantal kesayanganku.
“Ah, Jam berapa nih?” ucapku sambil mengusap mataku yang penuh dengan serpihan kotoran mata.
“Waduh! Udah jam enam aja! Gak sholat subuh lagi dah! Halah...”
Tanpa basa-basi segera kutanggalkan selimutku yang menggulung badanku semalaman dan segera aku bergegas pergi menjumpai warteg langgananku untuk sarapan pagi sebelum hari ini kuhabiskan dengan menguras pikiran dalam ruangan penuh buku dan orang berkacamata bulat tebal menggantung di wajahnya.
“Bi... nyarap bi...” pintaku kepada  penjaga warung itu.
“Biasa mas?” jawabnya.
“Iya bu, kantong saya masih kosong nih, maklum belum dikasih ongkos sama atasan, hehe...”
“Oh, ngerti kok bibi mah, pasti kamu ngutang lagi kan?” tanyanya dengan penuh kepastian.
“Hehehe, bibi tau aja...”
“Sip deh, bibi bolehin, tapi cepetan ya bayarnya, soalnya utangmu hampir 200 ribu nih...” balasnya yang disertai senyuman kecil dari wajahnya.
“Bibi Hasanah memang top!” seruku diiringi dengan dua acungan jempol yang terlontar tinggi.
           
Usai mengisi perut, sesegera mungkin aku langkahkan kakiku untuk mencari angkutan umum yang kosong pagi itu. Kulihat jam tangan hitamku yang satu-satunya barang termahal yang kupunya kali ini, Kuharap jam ini selalu mendampingiku untuk terus tepat waktu di dalam kehidupanku, tapi apa yang kulihat ternyata salah besar, jam telah menunjukkan pukul 7 lewat 10 menit, itu berarti waktu yang kumiliki hanya tinggal 20 menit lagi untuk datang tepat waktu ke kampus dan mengikuti jam pertama dengan tenang, kali ini rasanya hati ingin berlari mengejar waktu yang selalu pergi lebih cepat dari apa yang dibutuhkan.
Detik demi detik serasa pergi begitu cepatnya dalam hidupku, hiruk pikuk jalanan ibu kota membuat lalu lintas selalu ramai di pagi hari, membuat para mahasiswa kocar-kacir mengejar waktu, para pelajar SMA, SMP, dan SD tak kuasa menahan larinya di trotoar jalan demi waktu yang berlari sangat cepat, hancur berantakan pikiranku kali ini yang sebelumnya telah hancur, kali ini dihancurkan kembali sebelum sempat kupulihkan, ditambah aungan klakson mengganggu pendengaranku yang berusaha mendengar sayup-sayup bel masuk kampusku.
“Yah... telat dah gue hari ini...” sesalku sambil mengepalkan tanganku dengan keras.
            Jam tanganku telah menunjukkan pukul 7 lewat 45 menit, sementara kali ini baru terlihat di hadapanku gerbang besar dari kampusku di ibu kota. Rasa heran mulai timbul dalam benakku, mengapa waktu telah melewati batas masuk jam pertama namun gerbang masih terbuka lebar seakan menantang para mahasiswa yang datang telat.
“Woi dit! Bengong aja lu?” seorang teman satu fakultas menghancurkan heran dalam benakku sambil menepuk pundakku.
“Lah, Dani? Tumben lu telat!” kubalas tepukannya, hatiku girang karena sekarang aku telat tidak sendiri, melainkan bersama teman.
“Hah? Telat? Maksud lu apaan?” tanyanya linglung.
“Ya telat, kan sekarang jam tujuh lewat empat puluh lima! Telat masuk jam pertama!” balasku dengan lantang.
“Hahaha, jam lu tuh salah nyetting, orang sekarang masih jam tujuh lewat lima belas! Hahaha dasar si Jabro” dengan keras Ia tertawa padaku.
“Aihhh, rusuh banget sih ini jam!” balasku kesal.
            Hari yang kuanggap akan menjadi petaka bagiku, namun ternyata sebuah keindahan yang tidak ada yang dapat melampauinya, karena ini adalah hari pertamaku datang tidak telat dalam kuliahku selama 3 bulan ini, semuanya terasa berubah hanya karena sebuah ketidak sengajaan yang terjadi pada jam tanganku ini, dan itu akan membuang jabatanku selama ini dalam kelas bahwa aku satu-satunya mahasiswa yang selalu datang terlambat.
            Kulangkahkan kakiku kedalam kampus seakan tidak percaya bahwa jam ini yang merupakan barang paling berharga yang kumiliki menunjukkan waktu yang salah dan seakan semua ini adalah mimpi, hingga ketika kuberjalan, tak hentinya aku mencubiti diriku untuk memastikan apakah semua ini mimpi atau tidak.
            Ketidakpercayaan itu masih terbawa hingga ku sampai di depan pintu kelas, wajahku tertunduk malu dan kedua tangan tersilang rapih diatas tas selempang yang sengaja ku pindahkan ke depan perutku.
“Eh Rif? Lu bohong ya sama gua?” tanyaku.
“Bohong apaan Ja?” pandangan matanya menyiratkan keheranan yang begitu dalam akibat pertanyaanku.
“Gua telatkan sekarang? Iya kan?” aku memaksa Arif untuk mengatakan apa yang terjadi sebenarnya.
ngawur lu Ja! Ini masih jam tujuh lewat dua puluh! Masih sepuluh menit lagi belnya bunyi!” balasnya dengan yakin.
            Langkahku gemetar, aku memasuki kelas masih membawa rasa heranku yang begitu dalam, tak ada kepercayaan diri bahwa aku datang tidak terlambat pada hari itu. Aku mempersilahkan Arif masuk terlebih dahulu ke dalam kelas dan aku mengikutinya dibelakang, dan seketika ketika aku telah masuk ke dalam kelas, Arif pun menyerukan sebuah kata-kata pada teman-temanku yang ada di kelas, “Woi! Sekarang Jaja gak telat lagi lho!” pekiknya dengan mengepalkan tangannya di udara. Teman-temanku semuanya menyalamiku seperti memberi selamat kepada orang yang baru pulang haji, tak lupa merekapun berteriak dengan seksama, “Semoga terus begini ya si Jabro! Jaja Brother! Hahahaha”.
            Waktu terus berjalan, aku yang kali ini sangat percaya diri karena ini adalah kali pertamaku dalam hidup ini datang tepat waktu pada jam pertama, kupilih meja terdepan yang masih tersedia untuk menjadi tempat persinggahanku di jam pertama ini. Terdengar sudah bel berbunyi dan masuklah seorang lelaki dengan menghentakkan suara sepatu pantofelnya yang menggema bagai aungan serigala kelaparan yang membuat merinding telinga, dan digunakannya kemeja safari berkantong empat yang membawanya ke dalam jajaran orang berwibawa tinggi.
“Selamat pagi...” sapanya dengan lantang.
“Pagi...” kami balas sapaan itu dengan tegang.
“Siapa yang telat lagi hari ini? Jaja ya?” tuduhnya sembrono.
“Weits! Enggak dong pak Aman! Jaja ada disini!” balasku dengan pede.
“Oh... sini kamu maju kedepan!” suruhnya dengan sorot mata yang tajam.
“Lah kok gitu pak?” tanyaku heran.
“Udah sini maju dulu!” bentaknya dengan keras, dan bentakannya membuat kelas menjadi hening, tanpa suara.
“I..iya pak!” Aku meringis kesakitan karena kupingku dijewer agar cepat maju kedepan kelas.
“Nih kalian lihat, teman kalian yang biasanya datang telat, sekarang sudah bisa tepat waktu! Hebat gak?” tanyanya kepada seluruh isi kelas.
“Hebat...” seluruhnya pun menjawab serentak guna menolongku agar tidak terjadi kekerasan yang lebih parah lagi di pagi hari ini.
“Tapi! Ada tapinya nih! Sekarang dia gak bawa buku sama sekali... bener kan Ja?” tanyanya dengan memasang senyum licik.
“Eh, bawa kok! Tapi dimana yah?” balasku tegang.
“Hahaha, telat sih udah enggak, tapi ke kampus gak bawa buku? Niat belajar gak sih?” celetuk temanku di pojok sana.
“Udah duduk sana! Lain kali awas loh kalo gak bawa buku lagi!” ancam pak Aman.
“I..i..iya pak...” balasku lembut.
            Jam pertama kulewati tanpa sedikitpun materi pelajaran yang bisa kuabadikan dalam bukuku, bukan karena malas, tapi karena kecerobohanku sendiri yang tidak membawa buku itu ke kampus. Seketika saat pak Aman keluar, seluruh temanku mengejekku, “Niat gak sih sekolah Ja?”, tidak hanya itu, masih banyak cacian yang terlontar padaku, namun untungnya Arif menarikku keluar dan mengajakku untuk berbicara di kantin.
“Ja, lupain aja tadi yang terjadi di kelas!” rayunya dengan lembut.
“Iya deh Rif, pusing gua mikirin tadi, telat udah enggak, tapi malah gak bawa buku! Halaah!” sesalku sambil mengacak-ngacak rambutku.
“Haha, Eh Ja, tadi malem lu dapet surat gak?” tanyanya.
“Lah kok tahu?” balasku heran.
“Lu inget-inget dah isinya, pasti berkaitan sama kejadian yang alami sekarang...” ucapnya dengan pasti.
“Ehm... Intinya tuh surat itu bilang ke gua kalo jangan suka ceroboh? Apa maksudnya? Sekarang kan gua lagi gak hoki aja! Gak ada kaitannya lah!” bantahku.
“Apa iya itu cuman karena lu gak hoki aja? Lu tau gak itu yang ngirim siapa? Itu yang ngirim tuh pak Aman, yang tau kalo lu tuh bakal dateng gak telat di hari ini, ya karena kemarinnya udah pernah dimarahin sama dia, hahaha” jelasnya dengan lengkap.
“Oh iya ya! Eh, anterin gua ke pak Aman dong, gua mau bilang terima kasih sama dia! Gua mau janji kalo gua akan selalu tepat waktu dan gak bakal ceroboh!”Ajakku dengan lantang.
“Sip deh! Kata Ibu lu dulu juga gini kan, kunci keberhasilan itu kedisiplinan! Hahaha” sambutnya senang.
            Hari itu, metafora dalam diriku ini berubah melewati pesan seorang guru yang tak pandang kasta, yang selalu mementingkan muridnya, walau semuanya di sampaikan melalui sebuah misteri dan jam tangan kesayanganku ini.

Sabtu, 17 Desember 2011

Orang-orang Miskin, Oleh WS Rendra

Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim

Yogya, 4 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi

Senin, 12 Desember 2011

Idola Gue

Sajak Orang Lapar


kelaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam




o Allah !
burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin




kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan




seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran




o Allah !
kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
ke dalam perut para miskin




o Allah !
kami berlutut
mata kami adalah mata Mu
ini juga mulut Mu
ini juga hati Mu
dan ini juga perut Mu
perut Mu lapar, ya Allah
perut Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca




o Allah !
betapa indahnya sepiring nasi panas
semangkuk sop dan segelas kopi hitam




o Allah !
kelaparan adalah burung gagak
jutaan burung gagak
bagai awan yang hitam
menghalang pandangku
ke sorga Mu

Senin, 29 Agustus 2011

kenapa harus itu....

Boy: Marry me?
Girl: Do you have a house?
Boy: No..
Girl: Do you have a BMW car?
Boy: No..
Girl: How much is your salary?
Boy: No salary.. but.
Girl: No but. You have nothing. How can I marry you? Just leave me, please!!
.
.
.
.
.

Boy: *talking to himself* I have one villa, 3 property lands, 3 Ferrari, 2 Porsche.. Why I still need to buy BMW?! How can I get the salary when actually I'm the BOSS?

Kamis, 25 Agustus 2011

Keberanian Mengubah Kehidupan


“Tears will not erase your sorrow; hope does not make you successful; courage will get you there.”
– Air mata tidak akan menghapus dukamu; berharap tidak akan membuatmu sukses; hanya keberanian yang bisa membawamu kesana. Johni Pangalila
Setiap hari kita mempunyai peluang yang menguntungkan, entah itu dalam skala kecil maupun besar. Bila kita cukup berani, maka peluang-peluang tersebut akan menjadi keberuntungan yang besar. Sebab keberanian akan menimbulkan aksi yang signifikan.
Keberanian adalah suatu sikap untuk berbuat sesuatu dengan tidak terlalu merisaukan kemungkinan-kemungkinan buruk. Aristotle mengatakan bahwa, “The conquering of fear is the beginning of wisdom. Kemampuan menaklukkan rasa takut merupakan awal dari kebijaksanaan.”
Artinya, orang yang mempunyai keberanian akan mampu bertindak bijaksana tanpa dibayangi ketakutan-ketakutan yang sebenarnya merupakan halusinasi belaka. Orang-orang yang mempunyai keberanian akan sanggup menghidupkan mimpi-mimpi dan mengubah kehidupan pribadi sekaligus orang-orang di sekitarnya.
Beberapa abad yang silam Virgil mengatakan, “Fortune favors the bold. – Keberuntungan menyukai keberanian.” Marilah kita belajar dari para tokoh olah raga yang mempunyai prestasi berskala internasional, yaitu Carl Lewis, Michael Jordan, Marilyn King dan lain sebagainya. Mereka mempunyai keberanian yang tinggi untuk menepis segala kekhawatiran akan keterbatasan dalam diri mereka. Karena itulah mereka mampu berprestasi di bidang olah raga dan tampil sebagai tokoh yang berkarakter.
Kita juga mempunyai peluang yang sama besar di bidang yang sama ataupun di bidang lain, misalnya di bidang seni, politik, bisnis, ilmu pengetahuan, filsafat dan lain sebagainya. Tetapi apakah kita sudah mempunyai cukup keberanian menangkap peluang yang datang setiap hari itu dan mengubahnya menjadi prestasi hidup?
Hanya diri kita yang mampu mengukur apakah keberanian kita cukup besar? Marilyn King mengatakan bahwa keberanian kita secara garis besar dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu visi (vision), tindakan nyata (action), dan semangat (passion). Ketiga hal tersebut mampu mengatasi rasa khawatir, ketakutan, dan memudahkan kita meraih impian-impian.
Berdasarkan visi atau tujuan yang ingin kita capai, satu hal yang terpenting adalah kita harus menciptakan kemajuan. Menurut Vince Lombardi, seorang pelatih rugby ternama di dunia, upaya menciptakan kemajuan akan berjalan secara bertahap. Adanya perubahan menjadikan diri kita berani membuat kemajuan yang lebih besar. Karena itu Anthony J. D’Angelo menegaskan, “Don’t fear change, embrace it. – Jangan pernah takut pada perubahan, tetapi peluklah ia erat.” Maka perjelas visi, supaya berpengaruh signifikan terhadap keberanian.
Sementara itu, peluang datang terkadang dengan cara yang tidak terduga. Samuel Johnson mengatakan bahwa, “Whatever enlarges hope will also exalt courage. – Apapun yang dapat memperbesar harapan, maka ia juga akan meningkatkan keberanian.” Artinya, tindakan kerja untuk mengubah peluang akan meningkatkan harapan sekaligus keberanian memikirkan kemungkinan-kemungkinan terbaik atau menanggung resiko kegagalan sekalipun. Jika sudah mengetahui secara pasti apa yang kita inginkan dan sudah melakukan tindakan, maka hal itu akan meningkatkan keberanian untuk tidak pernah menyerah sebelum benar-benar berhasil.
Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap tingkat keberanian adalah semangat (passion). Mungkin kita akan terinspirasi semangat seorang olah ragawan Carl Lewis. Dirinya tidak merasa khawatir atau takut akan mengalami kekalahan dalam pertandingan karena ia mempunyai semangat yang tinggi. Semangat Carl Lewis memompa keberaniannya melewati bermacam kesulitan, sehingga ia berhasil meraih 22 medali emas diantaranya : 9 dari olimpiade/Games, 8 dari World Championship, 2 dari Pan America Games.
Ayahnya adalah orang yang paling berjasa dibalik keberaniannya itu. Ayahnya adalah orang yang tidak pernah bosan memberikan dorongan motivasi. Sehingga ketika ayahnya meninggal dunia pada tahun 1987 akibat serangan penyakit kanker, Carl Lewis menguburkan salah satu medali emas dari perlombaan lari 100 m yang paling disukai ayahnya. Dia berjanji untuk mendapatkan kembali medali itu. Semangat Carl Lewis meningkatkan keberaniaannya menembus halangan, hingga ia  kembali berhasil mengumpulkan 9 medali emas beberapa tahun kemudian.
Carl Lewis adalah salah satu contoh orang sukses. Ia mempunyai keberanian yang tinggi untuk melakukan sesuatu yang tidak bisa atau tidak akan pernah dikerjakan oleh orang-orang yang biasa-biasa saja. Mereka konsisten menciptakan kemajuan terus menerus. Ekhorutomwen E.Atekha menerangkan, “All you need to keep moving is your ability to keep being courageous. – Segala sesuatu yang menggerakkan dirimu adalah kemampuanmu untuk memacu keberanian.” Mereka senantiasa  mempunyai keberanian yang tinggi untuk mengubah kehidupan karena mereka mempunyai visi, melakukan aksi dan mempunyai semangat yang luar biasa.*
Sumber: Keberanian yang Dapat Mengubah Kehidupan oleh Andrew Ho

Selasa, 23 Agustus 2011

Suka dan Tidak Suka


aku memang suka puisi dan sastra bukan berarti ku mencintai bahasa indonesia untuk menenamaniku dihutan belantara karena setelah ku hitung-hitung sangat sulit bagiku menghitung karena ku tak suka matematika yang membuat logika dan tubuhku bagaikan biologi yang membuat ku tak menyukainya yang semuanya itu bagaikan sejarah yang tak perku untuk dipelajari dalam hidupku karena sejarah bagiku adalah sesuatu yang telah usang dan tak perlu dihitung seperti ekonomi karena semuanya itu tak perlu masuk bimbingan konseling... ku tak suka semuanya itu....suka tak suka....jalani....

Sabtu, 20 Agustus 2011

Angan-Angan Yang Tertunda

Oleh : Wahid Adha
            Beberapa hari yang lalu, terlaksanakanlah sudah Latihan Dasar Kepemimpinan tingkat SMP, demi menciptakan jiwa-jiwa muda yang siap menjadi pemimpin di masa depan, selain itu tersirat pula sebuah misi dari acara tersebut, yaitu misi yang pasti diinginkan oleh semua peserta dari acara ini, itulah penyaringan atau bisa disebut juga seleksi pengurus OSIS SMP tahun ini, acara yang diikuti oleh 60 lebih yang hanya memperebutkan 24 kursi kepengurusan OSIS.
            Tak dipungkiri, jadi pengurus OSIS bisa menjadikan diri sendiri terkenal, baik dari kaum adam maupun hawa, banyak dari temanku yang ingin menjadikan dirinya sebagai pengurus OSIS semata-mata hanya untuk pamer nama, atau orang-orang menyebutnya narsis-narsisan, apalagi di depan kaum hawa yang mudah digoda, salah satunya Andre, Ia sangat berambisi menjadikan dirinya sebagai ketua OSIS, cocok atau tidak dirinya dengan jabatan ini bukan urusannya, dia pintar, rajin, dan mungkin terlihat sangat keren bagi para wanita, apalagi wajah putih mirip orang jepang dan matanya yang berbinar-binar, kekurangannya hanya dalam hal ibadah, dan mungkin Ia memiliki rasa sombong dalam dirinya, walaupun hanya sedikit, tetapi hal ini kurasa tak penting, karena disini beda, ini sekolah islam, tidak ada yang tahu menahu akan hubungan pria-wanita jaman sekarang.
            Diriku terpojok di ujung kelas, tak tahu apa yang harus kulakukan, di mading telah tertempel kertas pendaftaran calon ketua OSIS tahun ini, aku tak tahu apakah aku sanggup melakukannya, apakah aku sanggup untuk menyikut sainganku atau bahkan tersikut oleh temanku yang kelak akan menjadi saingan beratku, keinginanku untuk menjadi ketua OSIS meluap-meluap bagai gunung berapi yang hendak meletus, tapi keinginan itu tak sanggup membawaku untuk mendaftar sebagai calon ketua OSIS.
            Tak kupungkiri bahwa sainganku kali ini tidak main-main, dua orang terpopuler dari dua kaum yang ada di sekolahku, kaum adam dan hawa jawabannya, merekalah Andre dan Sofia, mereka adalah orang-orang terpilih yang mungkin akan memiliki pendukung yang takkan mampu kukejar, terutama Andre, lawan jenisnya pun banyak yang mengidolakannya, terakhir ini tersebar bahwa salah satu dari guru-guru kami juga menyukai Andre, tetapi adab islami masih bejalan disini, sampai sekarang tak pernah ada yang menjalin hubungan dengan lawan jenisnya masing-masing.
            Satu lagi yang menjadi ancaman bagiku, Ialah Sofia, kandidat terkuat yang dikirimkan oleh kaum hawa untuk terjun dalam medan perang yang memperebutkan kursi emas ini sebagai ketua OSIS tahun ini, sama dengan Andre, Ia orang yang pintar, mudah bergaul, hingga mungkin teman-temannya bukan hanya dari kaum hawa saja, namun dari mereka para lelaki yang suka cari muka di depan wanita juga Ia sambut dengan senyumnya yang manis, namun Ia adalah wanita yang sholehah, Ia selalu menjaga pandangannya, berteman dengan kaum lelaki saja tanpa pernah melakukan jabat tangan, tetapi semua manusia pasti punya kelemahan, sebut saja Andre, Ia memiliki kekurangan dalam Ibadah, dan sekarang Sofia pun punya kekurangan yang mungkin sangat jarang bagi teman-temannya, hingga Ia menjadi orang yang suka dikerjain, Ia takut atau jijik terhadap serangga kecil nan indah itu, seekor kupu-kupulah yang dapat membuatnya takut, sangat lucu anak ini, tapi selain itu dia dapat memenuhi kriteria yang top bagi ketua OSIS, dan pasti dia adalah saingan berat bagiku dalam seleksi ketua OSIS ini.
            Hari-hari telah berlalu, waktu tidak lagi berjalan, Ia mulai berlari mengejarku, nafasnya sudah mulai tak teratur guna mengejarku yang sedang kebingungan dalam masalah seleksi ketua OSIS ini, jangka waktu pendaftaran yang hanya tinggal tiga hari lagi ini mengejarku, tapi, apa boleh buat, aku belum bisa memutuskan hal ini, keinginanku sudah kuat, namun tak kuat untuk mengantarku mendaftarkan diri sebagai calon ketua OSIS tahun ini, dan juga faktor eksternal yang menggangguku, terutama dari teman-teman sekelasku, tak hentinya mereka menyebutku pendusta, mungkin karena aku telah banyak bicara sebelum dibukanya pendaftaran ini, dan karena waktu itu aku lupa akan pesan ayahku yang telah tiada, ayahku adalah seorang penulis hebat yang sangat kukagumi, sebut saja dia Mukhtar Yahya, Ia telah berpesan bagiku bahwa “Janganlah sebarkan Apimu, jika kau belum bisa mengendalikan Api itu sebagai senjata kesuksesanmu.”
            Sekarang ayahku telah tiada, aku tak tahu apakah ibuku dapat juga membantuku dalam permasalahan kali ini, sekilas aku dan ibuku tidak terlalu akur, dan sejak dulu aku selalu meminta saran apapun hanya pada ayah, dan sekarang ibuku juga hanya menjadi seorang pegawai negeri, sebut saja dia Cut Laila, walau ibuku sekarang tinggal jauh di Semarang untuk bekerja, sedangkan aku tinggal sendiri di Tangerang untuk menuntut ilmu dengan giat, ibuku selalu mengirimkan uang setiap bulan untuk kebutuhanku yang tidak bisa kupenuhi sendiri dengan hasil karya cerpen-cerpenku yang sering dibertitkan di koran atau majalah anak-anak.
            Tak terasa bahwa sekarang telah tercipta lagi goresan tinta baru diatas kertas pendaftaran calon ketua OSIS tahun ini, Ialah Ridhuan Dika, bocah berumur 13 tahun yang tidak pernah sekalipun mendapatkan prestasi akademik yang bagus, wajahnya yang pas-pasan dan postur yang tidak masuk sebagai kriteria favorit, bocah yang hidup dengan hanya beralaskan tanah dan sastra, namun dia memiliki ciri khas yang sama denganku, yaitu ia juga telah ditinggalkan oleh ayahnya, bahkan ia lebih menderita lagi, ia hanya hidup dengan kakaknya, ibunya pun telah meninggalkannya sendiri untuk hidup didunia, hingga bocah ini memiliki sebuah kata motivasi baginya yang kurasa sangat menyedihkan, yaitu dia selalu berkata bahwa asalkan dia dapat bertahan hidup dan dapat memberangkatkan kakaknya pergi haji, apapun akan dilakukannya untuk menjadikannya sebuah kenyataan.
            Tapi, entah apa yang dapat aku lakukan, orang seperti Dika saja berani untuk mencalonkan dirinya sebagai calon ketua OSIS, tetapi diriku ini yang telah memendam lama keinginanku untuk menjadikan diri sebagai ketua OSIS tak bisa melakukan apa-apa, hanya berdiam di atas atap rumahku dan merenung sajakah yang bisa kulakukan, sainganku semakin banyak, dan akhirnya hanya ibuku yang mungkin dapat membantuku, seketika itu aku bergegas mengambil secarik kertas dan kutuliskan pesanku pada ibuku.
“Surat ini kutuliskan untuk ibuku tercinta,dan dikirimkan oleh anakmu,
Bu, sekarang aku sedang mengalami kesulitan, apakah ibu mau untuk menolongku ataukah tidak? Apapun jawabannya tetap kukirimkan pesan ini untukmu.
Ibu sudah tahu, sejak kepergian ayah aku akan terus berjuang untuk menjadi pemimpin, kali ini aku berusaha untuk menjadikan diriku sebagai ketua OSIS di sekolahku, namun apa boleh buat, diriku tak sanggup walau hanya untuk mendaftarkan diri sebagai calon ketua OSIS, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan bu, mohon sarannya ya...
Kumohon balasannya satu hari lagi ya....
Salam,
Mufti”
            Saat itu adalah saat yang mendebarkan bagiku, tak tahu apakah ibuku akan membalas pesanku ataukah itu, segeralah aku mencari kantor pos untuk mengirim surat ini ke tempat dimana ibuku berada, kupilih kiriman kilat untuk mengirimnya, selain karena waktu yang mengejarku dalam jangka waktu pendaftaran ketua OSIS, aku juga ingin tahu apakah ibuku masih peduli akan anganku yang telah ku patok di awan-awan di langit sana.
            Waktu berlalu, hari telah berlanjut, dua hari lagi waktu pendaftaran itu ditutup, hari penting yang tidak bisa kulupakan, karena suratku yang baru kemarin kukirim dengan kiriman kilat tersebut telah dibalas oleh ibuku, apalagi waktunya sangat tepat bagiku yang tengah tersesat di tengah lautan yan sangat luas ini, walau isinya sangat pendek, tapi itu berarti bahwa ibuku masih peduli terhadap anganku.
“Nak, ini ibumu...
Hanya sedikit saran yang bisa ibu berikan, namun mungkin ini adalah hal terbaik yang mungkin perlu kamu lakukan untuk mengatasi masalahmu, Sholat Istiqoroh nak...
Salam,
Ibumu”
            Malam pun datang, kujalankan saran yang telah ibu berikan padaku, yaitu Istiqoroh, salah satu yang aku lupakan dalam hal ini, Allahlah yang dapat memberikan saran terbaik bagiku, aku yang tidak sempurna pasti pernah lupa akan sesuatu, kali ini aku lupa akan keagungan Tuhan, tapi kata-kata ibu membuatku sadar, bahwa aku harus mendekatkan diri pada Tuhan, karena tuhanlah yang akan mengabulkan anganku yang telah tergantung lama.
            Dalam mimpi aku mendapatkan diriku tengah mendaftarkan diri sebagai “Tim sukses” kandidat ketua OSIS, bukan mendaftar sebagai ketua OSIS yang aku ingingkan, sontak aku berfikir bahwa aku sudah ditakdirkan tidak untuk menjadi ketua OSIS, tapi hanya sebagai “Tim sukses”, namun sesegera mungkin aku hilangkan pemikiran itu dari otakku, dan merencanakan bahwa di hari terakhir waktu pendaftaran akan kugunakan untuk mencoretkan namaku di atas kertas pendaftaran tersebut.
            Keesokan harinya, sesuai rencanaku, aku bangun pagi untuk bersiap-siap pergi ke sekolah demi mendaftarkan namaku di kertas pendaftaran tersebut, aku berniat untuk sampai lebih awal dari teman-temanku demi menghindari cacian-cacian yang keluar dari mulut mereka, dan demi meningkatkan kepercayaan diri saat mencoretkan tinta pada kertas tersebut dan menuliskan namaku, Mufti Yahya.
            Hari itu, sambutan meriah diberikan padaku yang telah mendapatkan kembali semangat hidup seorang pemimpin, burung-burung berkicau nan merdunya dan angin yang bertiup suci membawakan bunyi yang merdu ketika angin itu meniupkan daun-daun pepohonan di sekitarnya, sang surya pun tak mau kalah, dengan sinarnya ia menyambutku dengan kehangatan pagi hari dan senyuman yang indah ia lemparkan padaku.
            Waktu yang kutunggu telah datang, pintu gerbang sekolah baru dibuka, dan aku adalah siswa pertama yang menginjakkan kakiku di dalam lingkungan sekolahku pada hari ini, betapa cerahnya wajahku ketika itu, bergegas diriku pergi ke tempat dimana tersimpannya kertas pendaftaran itu, tetapi entah mengapa ketika aku baru mau memasuki pintu sekolahku, telah terdapat sepasang sepatu yang diletakkan persis di depan pintu tersebut, sontak aku mengira bahwa telah ada siswa yang datang lebih dulu sebelum aku dan gagallah sudah rencanaku, tapi kutepis semua itu dengan semangat menggebu-gebu yang telah merasuki jiwaku, aku tetap berjalan ke mana tempat kertas pendaftaran tersebut tertempel, namun nihil, kertas tersebut telah hilang dan tampak seorang lelaki di depan toilet sembari melambaikan tangannya dan menghampiriku.
“Nak, kamu cari kertas pendaftaran ketua OSIS ya?”
“I,iya pak, bapak tahu kertas itu ada dimana?”
“Kalau itu sih sudah dicabut dari tadi malam oleh guru pembina OSIS, kan disitu tertulis kalau batas pendaftarannya tadi pagi, pukul 00.00.”
            Saat itu, keaadaan berubah total, hati yang sedang merasakan kesenangan, terbelalak dengan kata-kata, seakan anganku hanya akan tergantung saja, takkan ada yang bisa menggapainya, namun tuhan selalu berbaik hati padaku, ia curahkan ketegaran yang lebih disaat aku membutuhkan, tepat sekali waktunya.
            Takkan ada kesuksesan tanpa perubahan, ku tegarkan diri dan tetap mendaftar untuk menjadikan diriku sebagai tim sukses dari salah satu calon ketua OSIS saat itu, semenjak kejadian tersebut, aku jadi lebih pendiam dan lebih suka bermain di masjid daripada di jalanan, itu semua kulakukan demi ketenangan diriku dalam menjalani hidup ini.
            Aku mulai giat mempelajari ilmu-ilmu agama, tak tahu apakah aku merasa bahwa tindakanku tak salah untuk dilakukan, namun keputusannya tinggal satu, aku harus tetap bertekad menjadi pemimpin masa depan, apapun yang terjadi sekarang takkan bisa menjadi ranjau bagi jalan kehidupan yang sangat unik ini.
            Waktu 2 minggu diberikan kepada para calon ketua OSIS, bersama tim suksesnya, mereka berkampanye hingga di kelaspun mereka tetap berkampanye, kali ini anganku untuk menjadi pemimpin telah terpenuhi, walau hanya jadi ketua tim sukses calon ketua OSIS nomor urut ketiga, yaitu Ridhuan Dika, meski aku tidak memiliki kisah pertemanan yang baik dengannya, tapi tanggung jawabku harus tetap kulaksanakan sebagai lelaki jantan.
            Dalam kurun waktu yang telah ditentukan, sebagai tim sukses, aku harus bisa mengenal lebih dalam si Dika ini, apa yang telah aku pikirkan sebelum menjadi tim suksesnya Dika ternyata salah besar, kukira aku akan dipermalukan oleh Dika sendiri ketika Ia berpidato, debat, dan mungkin banyak kesalahan yang akan dilakukannya, tapi kukira sekarang itu hanyalah sebuah tampilan fisik dari luar orang tersebut.
            Hanya Allah-lah yang dapat menyulap takdir kehidupanku, Allah telah mempertemukanku dengan seorang malaikat yang dapat membawaku mengikuti jalan kebenaran, Dika, masyarakat kecil yang terpinggirkan, bahkan diasingkan disekolah dapat merubah keadaan itu semudah dirinya membalikkan tangannya, pidato yang ia bawakan bahkan hingga membuat banyak guru dan teman-temanku terharu dan bahkan ada yang sempat meneteskan air matanya, walau dia hanya menggunakan aksesoris sederhana, mungkin maslah aksesoris itu adalah sebuah kesalahan tim sukses yang tidak becus menjalani tugas-tugasnya.
            Hari itu, hari dimana sebuah pidato kecil oleh seorang masyarakat terpinggirkan telah merubah hidupku, aku yang membuat kesalahan tetapi aku yang lebih banyak mendapatkan pujian ketimbang Dika sendiri, aku tak tahu apakah orang-orang ini hanya berbohong dan menipuku dengan pujian-pujian tak bermutu itu, namun Dika telah menjelaskan suatu hal, Ia tidak bersombong walau pidato tersebut telah membawanya ke depan puncak ketenaran, dan dia tetap memberikan tangannya untuk bersalaman padaku sembari memberikan selamat, padahal sebenarnya Ia telah tahu bahwa hanya dia yang bekerja demi menyelesaikan teks pidato tersebut, tak ada campur tangan tim sukses, dan dia selalu berkata “Jika ada cahaya kesuksesan sekecil apapun, berusahalah untuk datang ke depan cahya itu dan ikutilah jalannya, walau tak ada dukungan sama sekali”, disaat itu hatiku luluh lantak dan aku tak sanggup menahan tangisan bahagia menyeruak keluar, hari itu Dika bagaikan penyihir yang dapat merubah apapun dengan kata-kata dan perbuatannya.
            Ridhuan Dika, itulah nama orang yang membenarkan jalan kehidupanku dari kesalahan-kesalahan masa lalu, sejak kukenal dia, Ia selalu mengajakku ke tempat rekreasi favoritnya, tidak terdapat pungutan biaya disitu, tak ada keramaian, hanya ada ketenangan di tempat seperti itu, seusai sekolah, seketika itu Dika langsung menarik lenganku dan membawaku ke tempat rekreasi tersebut, Masjid Dzaratul namanya, disanalah tempat Ia merefleksikan otak, mencuci pikiran serta tak kalah pentingnya, dia merasa belum sempurna dan Ia berusaha selalu menjadi lebih baik di hari berikutnya.
            Tiba sudah pemilu ketua OSIS yang telah direncanakan, tawakal diri telah dilaksanakan untuk detik ini, namun kukira sekarang keadaan telah berbalik, kandidatku atau bisa disebut bosku telah mendapat pendukung yang hampir mencapai tiga kali lipat dari sebelumnya, diriku yang awalnya tak berniat menjadi tim sukses pun ikut merasakan apa yang dirasakan oleh bosnya, tak dapat dipungkiri, kebesaran Allah dapat membuatku menemukan orang secerdik dia yang dapat merubah sikapku hampir sejauh 180 derajat dari sebelumnya hanya dalam kurun waktu kurang dari dua minggu, tapi kukira bukan hanya aku yang terpengaruh, namun hampir semua pendukungnya datang ke sekolah dengan menggunakan peci, peci menjadi salah satu ciri khas Dika yang tidak akan kehilangan peci biru kesayangannya.
            Banyak orang yang bilang bahwa Tuhan hanya akan memberikan hidayahnya kepada orang yang mempunyai kemauan sendiri untuk melakukan suatu hal, tetapi sekarang telah terbukti bahwa Allah selalu memberikan hidayahnya kepada seluruh umatnya di dunia ini, walau seseorang tak punya keinginan, Allah telah mempersiapkan motivasi dari luar diri sendiri untuk menimbulkan sebuah kemauan itu.
            Pemilu dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku, dan pengumumannya akan dilaksanakan dua hari setelah pemilu usai, dua hari itu akan kami jadikan sebagai loncatan bagi Dika untuk menjadi ketua OSIS, untuk itu, kami dan teman-teman tim sukses mengajak para pendukung dan Dika sendiri untuk menjalankan sebuah kegiatan, yaitu “I’tikaf bersama calon ketua OSIS”, acara ini berencana untuk meningkatkan kualitas tawakal diri masing-masing peserta beserta mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu dua hari ini.
            Tak dipungkiri, ataukah ini sebuah keajaiban yang diturunkan oleh Tuhan kepada kami, disaat kritis seperti ini, calon ketua OSIS yang kami dukung, yaitu Ridhuan Dika, berhasil mendapatkan jabatan tersebu, Ia sanggup menggugurkan dua pesaing tenarnya dengan tawakal, namun kali ini tak terdapat kekecewaan dalam diriku, karena kukira Allah telah meberikan sesuatu yang lebih berarti, sebuah panutan atau bisa disebut sahabat yang mampu membantu disaat aku perlu, karena seorang teman yang dapat membantu ketika teman tersebut perlu, adalah teman sejati.


SELESAI...

Selasa, 28 Juni 2011

Persahabatan Kuda dan Marbot


Oleh: Wahid Adha

Pada malam itu, tepatnya malam kepulanganku dari pondok nan jauh disana, aku bergegas menuju kamarku yang sudah lama kutinggalkan, kujatuhkan semua barangku, hingga kamarku telihat bagai kapal pecah. Sontak aku teringat janji temanku yang ingin mengatakan sesuatu yang penting ketika kami akan pulang ke rumah masing-masing. Segera kuambil laptop yang tergeletak di atas meja belajar dan langsung kubuka obrolan melalui akun facebookku di mana temanku telah berjanji akan memberitahu sesuatu yang penting dan ingin ia katakan kepadaku.

Tak lama kemudian langsung kutanyakan hal itu pada temanku, “Halo teman?” sapaku.

“Halo juga!” Jawabnya dengan santai.

Aku jadi bingung mendengar perkataannya, apakah dia lupa dengan janjinya, hingga aku tanyakan hal itu kepadanya.

“Mana janjimu tentang sesuatu yang penting yang ingin kau katakan?” Tanyaku dengan penasaran.

“Janji apa”?, kurasa aku tidak pernah menjanjikan sesuatu kepadamu!” Jawabnya dengan yakin.

Aku jadi bingung dan masih penasaran…

“Masa sih lupa?” Kembali kutanyakan tentang janji itu.

“Beneran… emang aku pernah bilang janji sama kamu?” jawabnya.

Akhirnya aku merasa sungkan untuk menanyakannya lagi dan berharap nanti ia akan ingat dan mengatakannya kepadaku, hingga malam itu kuakhiri obrolanku dengannya.

Aku masih penasaran dan bertanya-tanya dalam hatiku mengapa dia panggil saja “Faruq”, yang kuanggap sebagai teman baikku selama di pondok semudah itu melupakan janjinya.

Aku teringat ketika Faruq memberi nama panggilan padaku Kuda karena katanya lariku kencang seperti kuda, padahal namaku Azzam, jauh sekali pebedaannya. Akupun tak mau kalah, aku sering memanggil dia Marbot*, bukan karena dia sering bersih-bersih masjid, tapi cuman gara-gara dia dulu sering mengatakan, “Ane jadiin marbot nih!”, sampai akhirnya Ia sering kupanggil marbot.

Besoknya, aku tidak putus asa, kubuka lagi akun facebookku, sambil menunggu Faruq juga membuka akunnya. Kucoba melatih kata-kata yang akan kugunakan untuk bertanya kepadanya. Setelah menunggu sekitar 2 jam, baru aku melihat akun Faruq muncul. Aku yang telah siap menerbangkan kata-kata untuk bertanya tentang janjinya waktu itu jadi terkejut, karena belum sempat menuliskan sepatah kata pun padanya, ia duluan menyapa diriku, dan mengirimkan beberapa patah kata yang membuatku mati langkah, tetapi diriku senang melihatnya.
 “Hai Zam, sori ya kemarin, aku lupa tentang janjiku kemarin, kamu mau kan memaafkanku!” Katanya, Sesaat aku merasakan ternyata ia memang teman terbaikku.

“Gak apa-apa kok ruq…” Balasku, padahal aku mulai menggigil menunggu apa dia akan mengatakan janjinya padaku.

“Zam, aku hanya mau minta sesuatu darimu…?” Dia berkata sambil memohon padaku.

“Emang minta apa ruq? Kalau aku sanggup, pasti aku bantu kok!” Balasku dengan yakin.

“Beneran ya…! Aku berharap banget nih sama kamu!” Katanya sambil berharap diriku pasti membantunya.

“Iya deh, kasih tau dulu dong apa mau kamu minta?” Balasku dengan semangat

“Gini nih ceritanya, orang tuaku di rumah selalu marah-marahin aku, karena nilaiku yang selalu pas-pasan, ya kamu kan tau, aku cuman dapat peringkat 21 di kelas. Mereka marah karena aku yang terlalu mencintai bulutangkis, berlatih dan berlatih sampai meninggalkan pelajaran”, Faruq menceritakannya dengan pilu.

“Lalu, kamu mau aku bantu apa?” Balasku yang mulai keberatan, karena takut permintaannya bermacam-macam.

“Aku cuma mau membuktikan sama orang tuaku kalau aku bisa mendapatkan penghargaan dengan kecintaanku terhadap bulu tangkis ini, kan kata ustadz kita, bakat harus ditonjolkan kalau mau sukses” Dia bercerita dengan panjang lebar padaku.

“Terus, kamu mau aku dukung kamu, atau bantuin biaya kamu?” Tanyaku dengan berat hati, karena dikala itu diriku tak memiliki uang yang banyak.

“Gak kok, aku cuman pengen kamu jadi partnerku dalam permainanku, karena mungkin diriku terlalu kecil untuk menjadi pemain tunggal dalam permainan itu” Ajaknya.

“Lah, aku kan gak terlalu mahir dalam permainan bulutangkis! Lagian kamu juga pasti bisa kok jadi pemain tunggal”! Balasku dengan meminta agar tidak dijadikan partner dalam permainannya, aku merasa tak pantas untuk berpasangan dengannya, karena menurutku dia jauh lebih hebat permainannya dibanding denganku.

“Tapi, diluar sana aku terlalu kecil bagi mereka, dan berat untuk ku menghadang mereka sendiri”. Pintanya.

“Aduh, gimana ya!” pikirku dalam hati, untuk membiayai diriku sendiripun aku sedang tak memiliki uang, bahkan membeli raket pun tak bisa.

“Ya udah gak apa-apa, kamu pikir-pikir aja dulu…” Balasnya.

“Oke deh” Balasku dengan perasaan yang gamang mendengar permintaanya yang berat bagiku.

Hari itu kuakhiri dengan penuh pertanyaan, apakah aku sanggup mengabulkan permohonannya dengan kondisi keuanganku yang juga minim, akhirnya kuputuskan aku takkan bisa mengabulkan permintaanya.

Keesokan harinya, kau yang telah dipenuhi dengan keyakinan untuk menolak keinginannya, ketika sang surya mulai meluncur, kunyalakan komputer untuk mengutarakan penolakanku, aku dikagetkan dengan ketukan pintu beserta suara nyaring seseorang mengucapkan salam.

“Assalaamu’alaikum”..

“Wa’alaikumsalam warahmatullah”!... jawabku. Dengan sedikit bingung dan bertanya siapa, karena tidak mungkin ada teman di rumahku yang pagi-pagi begini sudah bertandang ke rumah untuk mengajakku bermain, “apakah ini Faruq?” ucapku dalam hati, masa sih dia mau mengajakku langsung untuk berlatih bulutangkis, “ah gak mungkin…” jawabku, tapi karena rasa penasaranku dengan orang yang mengetuk pintu itu, langsung kuhampiri pintu itu dan kuintip wajah orang itu dari balik jendela,... ya gak kelihatan wajahnya…” ucapku dengan kecewa, ah kenapa gak langsung kubuka saja pintunya untuk menjawab rasa penasaranku tadi.

Segera kubuka pintu, dan aku terkejut melihat seseorang bertubuh mungil mengenakan baju bertuliskan DIADORA di dadanya langsung bersujud didepanku, dia bersujud sambil menangis dan memohon padaku untuk bisa menjadi partnernya.

“Zam, pliss zam, mau ya zam jadi partnerku, pliss” pintanya sambil terus menangis”.

Ah ternyata benar dia adalah Faruq, aku yang masih terkejut melihatnya merasa iba mendengarnya memohon, tidak kuasa untuk mengatakan keputusanku kemarin untuk menolak permintaannya.

“Iya, iya, aku pasti mau jadi partnermu…” balasku dengan santai.

“Bener nih...?” terima kasih banyak ya Zam, Kamu emang teman sejatiku...! kalo gitu ayo sekarang kita mulai latihan!” katanya sambil menarikku untuk segera pergi.

Aku tak bisa berbuat lain dan sungkan untuk menolaknya, tapi langsung kukatakan sesuatu yang mungkin bisa membuat dia agak shock mendengarnya.

“eh, eh, sabar dulu dong, buru-buru amat, entar aku gak jadi nih jadi partnermu…” ancamku

“Ya jangan dong…” katanya sambil memohon kembali.

“makanya sabar, aku kan belum ganti baju…aku juga belum minta izin sama orang tuaku” kataku

“ya udah deh, aku tunggu di depan ya…” ucapnya dengan wajah agak khawatir kalau aku membatalkan rencananya untuk menjadi partnernya.

Setelah perbincanganku dengan Faruq tadi, aku bergegas pergi ke kamar dan menggunakan pakaian olahraga yang seadanya, aku pun keluar dengan membawa raketku yang berharga sepuluh ribuan dan kubeli di pedagang asongan yang lewat di depan rumahku, tak lupa aku meminta izin untuk pergi bersama Faruq kepada orangtuaku, kemudian aku bergegas keluar menemuinya.

“Ayo ruq, aku sudah siap…” Ajakku.

Wajah Faruq tertegun dan memelas sambil memperhatikanku dari unjung kaki sampai ujung kepala, mungkin ia merasa bahwa aku sangat kusut sama seperti yang kurasakan, maka dari itu aku merasa tidak cocok berpasangan dengannya.

“Kenapa ruq?” tanyaku heran melihat wajahnya yang bengong karena pakaianku yang kusut dan bolong di bagian pundak.

“Gak kok, gak apa-apa….” Jawabnya dengan sedikit ragu.

“Nah, ini dia masalahnya ruq, aku gak punya peralatan yang mendukung buat jadi partnermu, nih liat aja, bajuku udah pada bolong-bolong, emang kamu masih mau berpasangan sama aku?” tanyaku dengan halus.

“Nah, ini juga yang pengen aku kasih tahu sama kamu, aku sudah menyiapkan 2 setel pakaian untukmu, dan aku juga punya sebuah raket untukmu! Jadi kamu masih tetap bisa jadi partnerku!” balasnya dengan semangat

“Wah, bagus banget nih!” jawabku dengan semangat, dan aku tersanjung dan merasa indahnya persahabatan, ketika aku perlu, dia selalu ada untuk membantu, ketika dia perlu, aku siap membantu sebisa aku melakukannya.

“Nah, sekarang ayo kita pergi!” ajaknya dengan semangat

“Ok Ruq, aku tau kok gedung bulutangkis yang dekat dari sini, yang mungkin bisa kita gunakan untuk latihan selama beberapa hari ini” ajakku

“Ok Zam…” jawabnya dengan penuh semangat.

Setelah beberapa hari aku latihan bersamanya, aku yang mulai bertanya pada diriku sendiri, apa manfaatnya kalau latihan saja, tidak ada pertandingan pula, terasa jenuh kalau hanya seperti ini saja.

Akhirnya, kuutarakan maksudku dengan Faruq setelah latihan usai.

“Ruq, gimana nih… masa kita hanya latihan aja, kapan kita mengasah kemampuan kita untuk bertanding?” tanyaku dengan rasa penasaran dan semangat yang bercampur aduk.

“Tenang aja, tunggu aja beberapa minggu lagi, kita tunggu waktu yang tepat!” jawabnya dengan santai.

Aku yang masih lugu mengiyakan saja apa yang dia katakan, aku selalu menunggu Faruq memberitahu kabar baik bagiku. Namun, tidak sampai beberapa jam, aku mendengar kabar bahwa Faruq akan mengikuti turnamen bulutangkis sendirian, tapi aku tidak menanggapinya dengan serius, karena kupikir itu hanya sebuah kabar burung yang tidak bisa dipercaya, aku pun pulang dengan tenang ke rumahku tanpa menghiraukan kabar tersebut.

Malam harinya, aku tak bisa tidur, karena masih terngiang akan kebenaran kabar tadi dalam pikiranku, kabar itu seperti memeras otakku, hingga aku merasa hampir gila memikirkannya, aku mulai berfikir untuk mengintainya esok hari.

Keesokan harinya, ketika fajar menyongsong, aku pergi ke gedung yang biasa kugunakan untuk latihan, kebetulan hari itu hari minggu di mana kami tidak menjadwalkan untuk latihan jadi aku berniat untuk melihat keadaan saja, mungkin saja turnamen itu dilaksanakan di gedung tersebut, kerana hari itu memang telah dijadwalkan akan diadakan turnamen bulutangkis tunggal.

Tanpa basa-basi langsung saja kuintip aktivitas mereka yang berada di dalam gedung dari kamar mandi yang berada di belakang Gedung itu, kucari dengan teliti wajah Faruq, dan ternyata memang tidak ada, diriku lega melihatnya, setelah itu bergegaslah aku untuk pulang ke rumah. Tetapi baru beberapa langkah aku berjalan terlihat wajah Faruq yang baru memasuki gedung ini, dia disambut oleh beberapa temanku yang juga mengikuti turnamen ini. Aku kaget dan langsung berlari keluar dari gedung tersebut dan aku langsung mencari temanku yang kebetulan dia cukup dekat dengan Faruq, Ia bernama Haris.

“Ris, kamu tau gak kenapa si Faruq ikut turnamen tunggal?” tanyaku dengan kesal.

“Oh, si Faruq, dia emang dari dulu ingin jadi pemain tunggal”! Masa kamu gak tau?” Dia tuh hanya ngajak kamu jadi partnernya biar bisa latihan lebih serius, kan kamu tuh badannya kuat, jadi disuruh apa aja bisa, begitu katanya” HAris menjawab panjang lebar.

Seketika hancur semua harapanku, patah semangatku mendengar kata-katanya, segala rasa berkecamuk dalam dadaku, aku mulai merasa ingin sekali bisa membuktikan bahwa aku juga bisa mengalahkannya dalam turnamen sekarang. Segera aku bertanya kepada Haris tentang turnamen tunggal bulu tangkis sekarang ini yang ingin aku ikuti.

“Ris, sekarang masih bisa daftar gak yah turnamen ini” tanyaku dengan rasa kesal yang mendalam terhadap Faruq.

“Masih bisa, oh jadi kamu mau ngebuktiin sama Faruq ya, kalau kamu itu lebih jago daripada dia, sini aku daftarin” jawabnya dengan santai.

Setelah didaftarkan oleh Haris, aku langsung duduk di bangku peserta dan menunggu namaku dipanggil oleh panitia, namun ternyata Faruqlah yang bermain duluan, mungkin dia tidak sadar aku mengikuti turnamen ini juga, mungkin karena aku menggunakan masker sekarang ini.

Faruq bertanding dengan penuh kecerobohan, fisiknya yang lemah tak kuasa menahan gempuran serangan lawan, akhirnya dia kalah dalam babak penyisihan pertama> Tak lama kemudian namaku dipanggil oleh wasit, dan akan bertanding segera, karena aku tidak membawa raket, aku meminjam raket Haris. Kulihat wajah Faruq terkejut melihatku mengikuti turnamen ini, tetapi dia mengalihkan pandangannya untuk melihat partai lain. Lalu aku mulai bertanding, karena hatiku penuh dengan rasa ingin balas dendam, akhirnya membuatku tampil buruk hingga akupun tersisih pada babak penyisihan pertama.

Perasaan malu dan menyesal menjalar di hatiku, karena kesombonganku yang merasa bahwa aku lebih hebat daripada Faruq. Seketika itu juga Faruq langsung datang menghampiriku, Ia memelukku disertai tangis haru, sambil kami berbincang-bincang di pinggir lapangan.

“Maaf ya Zam, aku malah ikut turnamen ini sendirian dan mencampakkanmu…” katanya sambil sambil terhisak.

“Iya gak apa-apa aku juga minta maaf ya udah nuduh kamu yang enggak baik…” Balasku

Tak lama kemudian Haris datang, ia berniat untuk mengambil raketnya yang masih kupegang, sambil berkata “Sudah-sudah, lebih baik kalian berdua gabung aja lagi jadi pasangan, aku lihat kalian lebih kompak, dan bermain sangat apik ketika kalian bersama, daripada bermain sendiri, jadi berantakan seperti tadi!” Ucapnya dengan gayanya yang sok santai. Kami tersenyum mendengarnya….

Setelah kejadian itu, kami selalu berlatih bersama, baik Faruq, Haris, maupun aku selalu berlatih bersama, Aku dan Faruq menjadi tim ganda putra dan Haris menjadi pemain tunggal dengan impian dan cita-cita menjadi pahlawan bulutangkis Indonesia dikemudian hari. Akhirnya “Kuda” dan “Marbot” menemukan arti persahabatan yang sebenarnya.
* Marbot adalah pekerja kebersihan di masjid.