Selasa, 28 Juni 2011

Persahabatan Kuda dan Marbot


Oleh: Wahid Adha

Pada malam itu, tepatnya malam kepulanganku dari pondok nan jauh disana, aku bergegas menuju kamarku yang sudah lama kutinggalkan, kujatuhkan semua barangku, hingga kamarku telihat bagai kapal pecah. Sontak aku teringat janji temanku yang ingin mengatakan sesuatu yang penting ketika kami akan pulang ke rumah masing-masing. Segera kuambil laptop yang tergeletak di atas meja belajar dan langsung kubuka obrolan melalui akun facebookku di mana temanku telah berjanji akan memberitahu sesuatu yang penting dan ingin ia katakan kepadaku.

Tak lama kemudian langsung kutanyakan hal itu pada temanku, “Halo teman?” sapaku.

“Halo juga!” Jawabnya dengan santai.

Aku jadi bingung mendengar perkataannya, apakah dia lupa dengan janjinya, hingga aku tanyakan hal itu kepadanya.

“Mana janjimu tentang sesuatu yang penting yang ingin kau katakan?” Tanyaku dengan penasaran.

“Janji apa”?, kurasa aku tidak pernah menjanjikan sesuatu kepadamu!” Jawabnya dengan yakin.

Aku jadi bingung dan masih penasaran…

“Masa sih lupa?” Kembali kutanyakan tentang janji itu.

“Beneran… emang aku pernah bilang janji sama kamu?” jawabnya.

Akhirnya aku merasa sungkan untuk menanyakannya lagi dan berharap nanti ia akan ingat dan mengatakannya kepadaku, hingga malam itu kuakhiri obrolanku dengannya.

Aku masih penasaran dan bertanya-tanya dalam hatiku mengapa dia panggil saja “Faruq”, yang kuanggap sebagai teman baikku selama di pondok semudah itu melupakan janjinya.

Aku teringat ketika Faruq memberi nama panggilan padaku Kuda karena katanya lariku kencang seperti kuda, padahal namaku Azzam, jauh sekali pebedaannya. Akupun tak mau kalah, aku sering memanggil dia Marbot*, bukan karena dia sering bersih-bersih masjid, tapi cuman gara-gara dia dulu sering mengatakan, “Ane jadiin marbot nih!”, sampai akhirnya Ia sering kupanggil marbot.

Besoknya, aku tidak putus asa, kubuka lagi akun facebookku, sambil menunggu Faruq juga membuka akunnya. Kucoba melatih kata-kata yang akan kugunakan untuk bertanya kepadanya. Setelah menunggu sekitar 2 jam, baru aku melihat akun Faruq muncul. Aku yang telah siap menerbangkan kata-kata untuk bertanya tentang janjinya waktu itu jadi terkejut, karena belum sempat menuliskan sepatah kata pun padanya, ia duluan menyapa diriku, dan mengirimkan beberapa patah kata yang membuatku mati langkah, tetapi diriku senang melihatnya.
 “Hai Zam, sori ya kemarin, aku lupa tentang janjiku kemarin, kamu mau kan memaafkanku!” Katanya, Sesaat aku merasakan ternyata ia memang teman terbaikku.

“Gak apa-apa kok ruq…” Balasku, padahal aku mulai menggigil menunggu apa dia akan mengatakan janjinya padaku.

“Zam, aku hanya mau minta sesuatu darimu…?” Dia berkata sambil memohon padaku.

“Emang minta apa ruq? Kalau aku sanggup, pasti aku bantu kok!” Balasku dengan yakin.

“Beneran ya…! Aku berharap banget nih sama kamu!” Katanya sambil berharap diriku pasti membantunya.

“Iya deh, kasih tau dulu dong apa mau kamu minta?” Balasku dengan semangat

“Gini nih ceritanya, orang tuaku di rumah selalu marah-marahin aku, karena nilaiku yang selalu pas-pasan, ya kamu kan tau, aku cuman dapat peringkat 21 di kelas. Mereka marah karena aku yang terlalu mencintai bulutangkis, berlatih dan berlatih sampai meninggalkan pelajaran”, Faruq menceritakannya dengan pilu.

“Lalu, kamu mau aku bantu apa?” Balasku yang mulai keberatan, karena takut permintaannya bermacam-macam.

“Aku cuma mau membuktikan sama orang tuaku kalau aku bisa mendapatkan penghargaan dengan kecintaanku terhadap bulu tangkis ini, kan kata ustadz kita, bakat harus ditonjolkan kalau mau sukses” Dia bercerita dengan panjang lebar padaku.

“Terus, kamu mau aku dukung kamu, atau bantuin biaya kamu?” Tanyaku dengan berat hati, karena dikala itu diriku tak memiliki uang yang banyak.

“Gak kok, aku cuman pengen kamu jadi partnerku dalam permainanku, karena mungkin diriku terlalu kecil untuk menjadi pemain tunggal dalam permainan itu” Ajaknya.

“Lah, aku kan gak terlalu mahir dalam permainan bulutangkis! Lagian kamu juga pasti bisa kok jadi pemain tunggal”! Balasku dengan meminta agar tidak dijadikan partner dalam permainannya, aku merasa tak pantas untuk berpasangan dengannya, karena menurutku dia jauh lebih hebat permainannya dibanding denganku.

“Tapi, diluar sana aku terlalu kecil bagi mereka, dan berat untuk ku menghadang mereka sendiri”. Pintanya.

“Aduh, gimana ya!” pikirku dalam hati, untuk membiayai diriku sendiripun aku sedang tak memiliki uang, bahkan membeli raket pun tak bisa.

“Ya udah gak apa-apa, kamu pikir-pikir aja dulu…” Balasnya.

“Oke deh” Balasku dengan perasaan yang gamang mendengar permintaanya yang berat bagiku.

Hari itu kuakhiri dengan penuh pertanyaan, apakah aku sanggup mengabulkan permohonannya dengan kondisi keuanganku yang juga minim, akhirnya kuputuskan aku takkan bisa mengabulkan permintaanya.

Keesokan harinya, kau yang telah dipenuhi dengan keyakinan untuk menolak keinginannya, ketika sang surya mulai meluncur, kunyalakan komputer untuk mengutarakan penolakanku, aku dikagetkan dengan ketukan pintu beserta suara nyaring seseorang mengucapkan salam.

“Assalaamu’alaikum”..

“Wa’alaikumsalam warahmatullah”!... jawabku. Dengan sedikit bingung dan bertanya siapa, karena tidak mungkin ada teman di rumahku yang pagi-pagi begini sudah bertandang ke rumah untuk mengajakku bermain, “apakah ini Faruq?” ucapku dalam hati, masa sih dia mau mengajakku langsung untuk berlatih bulutangkis, “ah gak mungkin…” jawabku, tapi karena rasa penasaranku dengan orang yang mengetuk pintu itu, langsung kuhampiri pintu itu dan kuintip wajah orang itu dari balik jendela,... ya gak kelihatan wajahnya…” ucapku dengan kecewa, ah kenapa gak langsung kubuka saja pintunya untuk menjawab rasa penasaranku tadi.

Segera kubuka pintu, dan aku terkejut melihat seseorang bertubuh mungil mengenakan baju bertuliskan DIADORA di dadanya langsung bersujud didepanku, dia bersujud sambil menangis dan memohon padaku untuk bisa menjadi partnernya.

“Zam, pliss zam, mau ya zam jadi partnerku, pliss” pintanya sambil terus menangis”.

Ah ternyata benar dia adalah Faruq, aku yang masih terkejut melihatnya merasa iba mendengarnya memohon, tidak kuasa untuk mengatakan keputusanku kemarin untuk menolak permintaannya.

“Iya, iya, aku pasti mau jadi partnermu…” balasku dengan santai.

“Bener nih...?” terima kasih banyak ya Zam, Kamu emang teman sejatiku...! kalo gitu ayo sekarang kita mulai latihan!” katanya sambil menarikku untuk segera pergi.

Aku tak bisa berbuat lain dan sungkan untuk menolaknya, tapi langsung kukatakan sesuatu yang mungkin bisa membuat dia agak shock mendengarnya.

“eh, eh, sabar dulu dong, buru-buru amat, entar aku gak jadi nih jadi partnermu…” ancamku

“Ya jangan dong…” katanya sambil memohon kembali.

“makanya sabar, aku kan belum ganti baju…aku juga belum minta izin sama orang tuaku” kataku

“ya udah deh, aku tunggu di depan ya…” ucapnya dengan wajah agak khawatir kalau aku membatalkan rencananya untuk menjadi partnernya.

Setelah perbincanganku dengan Faruq tadi, aku bergegas pergi ke kamar dan menggunakan pakaian olahraga yang seadanya, aku pun keluar dengan membawa raketku yang berharga sepuluh ribuan dan kubeli di pedagang asongan yang lewat di depan rumahku, tak lupa aku meminta izin untuk pergi bersama Faruq kepada orangtuaku, kemudian aku bergegas keluar menemuinya.

“Ayo ruq, aku sudah siap…” Ajakku.

Wajah Faruq tertegun dan memelas sambil memperhatikanku dari unjung kaki sampai ujung kepala, mungkin ia merasa bahwa aku sangat kusut sama seperti yang kurasakan, maka dari itu aku merasa tidak cocok berpasangan dengannya.

“Kenapa ruq?” tanyaku heran melihat wajahnya yang bengong karena pakaianku yang kusut dan bolong di bagian pundak.

“Gak kok, gak apa-apa….” Jawabnya dengan sedikit ragu.

“Nah, ini dia masalahnya ruq, aku gak punya peralatan yang mendukung buat jadi partnermu, nih liat aja, bajuku udah pada bolong-bolong, emang kamu masih mau berpasangan sama aku?” tanyaku dengan halus.

“Nah, ini juga yang pengen aku kasih tahu sama kamu, aku sudah menyiapkan 2 setel pakaian untukmu, dan aku juga punya sebuah raket untukmu! Jadi kamu masih tetap bisa jadi partnerku!” balasnya dengan semangat

“Wah, bagus banget nih!” jawabku dengan semangat, dan aku tersanjung dan merasa indahnya persahabatan, ketika aku perlu, dia selalu ada untuk membantu, ketika dia perlu, aku siap membantu sebisa aku melakukannya.

“Nah, sekarang ayo kita pergi!” ajaknya dengan semangat

“Ok Ruq, aku tau kok gedung bulutangkis yang dekat dari sini, yang mungkin bisa kita gunakan untuk latihan selama beberapa hari ini” ajakku

“Ok Zam…” jawabnya dengan penuh semangat.

Setelah beberapa hari aku latihan bersamanya, aku yang mulai bertanya pada diriku sendiri, apa manfaatnya kalau latihan saja, tidak ada pertandingan pula, terasa jenuh kalau hanya seperti ini saja.

Akhirnya, kuutarakan maksudku dengan Faruq setelah latihan usai.

“Ruq, gimana nih… masa kita hanya latihan aja, kapan kita mengasah kemampuan kita untuk bertanding?” tanyaku dengan rasa penasaran dan semangat yang bercampur aduk.

“Tenang aja, tunggu aja beberapa minggu lagi, kita tunggu waktu yang tepat!” jawabnya dengan santai.

Aku yang masih lugu mengiyakan saja apa yang dia katakan, aku selalu menunggu Faruq memberitahu kabar baik bagiku. Namun, tidak sampai beberapa jam, aku mendengar kabar bahwa Faruq akan mengikuti turnamen bulutangkis sendirian, tapi aku tidak menanggapinya dengan serius, karena kupikir itu hanya sebuah kabar burung yang tidak bisa dipercaya, aku pun pulang dengan tenang ke rumahku tanpa menghiraukan kabar tersebut.

Malam harinya, aku tak bisa tidur, karena masih terngiang akan kebenaran kabar tadi dalam pikiranku, kabar itu seperti memeras otakku, hingga aku merasa hampir gila memikirkannya, aku mulai berfikir untuk mengintainya esok hari.

Keesokan harinya, ketika fajar menyongsong, aku pergi ke gedung yang biasa kugunakan untuk latihan, kebetulan hari itu hari minggu di mana kami tidak menjadwalkan untuk latihan jadi aku berniat untuk melihat keadaan saja, mungkin saja turnamen itu dilaksanakan di gedung tersebut, kerana hari itu memang telah dijadwalkan akan diadakan turnamen bulutangkis tunggal.

Tanpa basa-basi langsung saja kuintip aktivitas mereka yang berada di dalam gedung dari kamar mandi yang berada di belakang Gedung itu, kucari dengan teliti wajah Faruq, dan ternyata memang tidak ada, diriku lega melihatnya, setelah itu bergegaslah aku untuk pulang ke rumah. Tetapi baru beberapa langkah aku berjalan terlihat wajah Faruq yang baru memasuki gedung ini, dia disambut oleh beberapa temanku yang juga mengikuti turnamen ini. Aku kaget dan langsung berlari keluar dari gedung tersebut dan aku langsung mencari temanku yang kebetulan dia cukup dekat dengan Faruq, Ia bernama Haris.

“Ris, kamu tau gak kenapa si Faruq ikut turnamen tunggal?” tanyaku dengan kesal.

“Oh, si Faruq, dia emang dari dulu ingin jadi pemain tunggal”! Masa kamu gak tau?” Dia tuh hanya ngajak kamu jadi partnernya biar bisa latihan lebih serius, kan kamu tuh badannya kuat, jadi disuruh apa aja bisa, begitu katanya” HAris menjawab panjang lebar.

Seketika hancur semua harapanku, patah semangatku mendengar kata-katanya, segala rasa berkecamuk dalam dadaku, aku mulai merasa ingin sekali bisa membuktikan bahwa aku juga bisa mengalahkannya dalam turnamen sekarang. Segera aku bertanya kepada Haris tentang turnamen tunggal bulu tangkis sekarang ini yang ingin aku ikuti.

“Ris, sekarang masih bisa daftar gak yah turnamen ini” tanyaku dengan rasa kesal yang mendalam terhadap Faruq.

“Masih bisa, oh jadi kamu mau ngebuktiin sama Faruq ya, kalau kamu itu lebih jago daripada dia, sini aku daftarin” jawabnya dengan santai.

Setelah didaftarkan oleh Haris, aku langsung duduk di bangku peserta dan menunggu namaku dipanggil oleh panitia, namun ternyata Faruqlah yang bermain duluan, mungkin dia tidak sadar aku mengikuti turnamen ini juga, mungkin karena aku menggunakan masker sekarang ini.

Faruq bertanding dengan penuh kecerobohan, fisiknya yang lemah tak kuasa menahan gempuran serangan lawan, akhirnya dia kalah dalam babak penyisihan pertama> Tak lama kemudian namaku dipanggil oleh wasit, dan akan bertanding segera, karena aku tidak membawa raket, aku meminjam raket Haris. Kulihat wajah Faruq terkejut melihatku mengikuti turnamen ini, tetapi dia mengalihkan pandangannya untuk melihat partai lain. Lalu aku mulai bertanding, karena hatiku penuh dengan rasa ingin balas dendam, akhirnya membuatku tampil buruk hingga akupun tersisih pada babak penyisihan pertama.

Perasaan malu dan menyesal menjalar di hatiku, karena kesombonganku yang merasa bahwa aku lebih hebat daripada Faruq. Seketika itu juga Faruq langsung datang menghampiriku, Ia memelukku disertai tangis haru, sambil kami berbincang-bincang di pinggir lapangan.

“Maaf ya Zam, aku malah ikut turnamen ini sendirian dan mencampakkanmu…” katanya sambil sambil terhisak.

“Iya gak apa-apa aku juga minta maaf ya udah nuduh kamu yang enggak baik…” Balasku

Tak lama kemudian Haris datang, ia berniat untuk mengambil raketnya yang masih kupegang, sambil berkata “Sudah-sudah, lebih baik kalian berdua gabung aja lagi jadi pasangan, aku lihat kalian lebih kompak, dan bermain sangat apik ketika kalian bersama, daripada bermain sendiri, jadi berantakan seperti tadi!” Ucapnya dengan gayanya yang sok santai. Kami tersenyum mendengarnya….

Setelah kejadian itu, kami selalu berlatih bersama, baik Faruq, Haris, maupun aku selalu berlatih bersama, Aku dan Faruq menjadi tim ganda putra dan Haris menjadi pemain tunggal dengan impian dan cita-cita menjadi pahlawan bulutangkis Indonesia dikemudian hari. Akhirnya “Kuda” dan “Marbot” menemukan arti persahabatan yang sebenarnya.
* Marbot adalah pekerja kebersihan di masjid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar