Sabtu, 24 Desember 2011

Metafora Kehidupan - Wahid Adha

Ditemani gemuruh petir, malam ini ku terdiam menatap secarik kertas, kertas yang baru saja kudapatkan beberapa jam yang lalu setelah kupulang dari kampus, tinta yang tertuang dalam kertas tanpa ada tanda pengirim yang jelas terisi oleh beberapa patah kata yang nampaknya selalu berusaha untuk memotivasiku kali ini, tapi kurasa semua itu tak terlihat bekasnya dalam diriku, terbuang begitu saja, hasratku tak tergerak sama sekali untuk bangkit dari keterpurukan kali ini, tetapi entah mengapa pandanganku tak bisa lepas dari hadapan kertas ini.
Tak terasa waktu berlalu cepat, malam semakin sunyi, senyap dingin menyelimuti diri, tapi mengapa mataku tak lepas dari pandangannya, secarik kertas bertinta hitam tanpa tanda pengirim yang jelas, ditambah dengan hancurnya motivasiku untuk terus belajar dan semangat hidup yang telah lenyap kali ini dalam pikiranku.
“Ah, hancur aja semuanya...” teriakku dalam kamar kosan kecilku
“Arghhhh..” Kembali teriakanku memecah keheningan malam
            Sambil membanting kertas yang telah lama kupandang, kutimpa wajahku dengan bantal bersarung biru kesayangku, tak terasa air mataku telah mengucur deras membasahi wajahku, tangisku membawaku dalam mimpi indah malam ini.
            Kring..Kringg....
            Teriakan alarm pemberian ibuku membakar mimpi indahku, melepaskan wajahku dari atas bantal kesayanganku.
“Ah, Jam berapa nih?” ucapku sambil mengusap mataku yang penuh dengan serpihan kotoran mata.
“Waduh! Udah jam enam aja! Gak sholat subuh lagi dah! Halah...”
Tanpa basa-basi segera kutanggalkan selimutku yang menggulung badanku semalaman dan segera aku bergegas pergi menjumpai warteg langgananku untuk sarapan pagi sebelum hari ini kuhabiskan dengan menguras pikiran dalam ruangan penuh buku dan orang berkacamata bulat tebal menggantung di wajahnya.
“Bi... nyarap bi...” pintaku kepada  penjaga warung itu.
“Biasa mas?” jawabnya.
“Iya bu, kantong saya masih kosong nih, maklum belum dikasih ongkos sama atasan, hehe...”
“Oh, ngerti kok bibi mah, pasti kamu ngutang lagi kan?” tanyanya dengan penuh kepastian.
“Hehehe, bibi tau aja...”
“Sip deh, bibi bolehin, tapi cepetan ya bayarnya, soalnya utangmu hampir 200 ribu nih...” balasnya yang disertai senyuman kecil dari wajahnya.
“Bibi Hasanah memang top!” seruku diiringi dengan dua acungan jempol yang terlontar tinggi.
           
Usai mengisi perut, sesegera mungkin aku langkahkan kakiku untuk mencari angkutan umum yang kosong pagi itu. Kulihat jam tangan hitamku yang satu-satunya barang termahal yang kupunya kali ini, Kuharap jam ini selalu mendampingiku untuk terus tepat waktu di dalam kehidupanku, tapi apa yang kulihat ternyata salah besar, jam telah menunjukkan pukul 7 lewat 10 menit, itu berarti waktu yang kumiliki hanya tinggal 20 menit lagi untuk datang tepat waktu ke kampus dan mengikuti jam pertama dengan tenang, kali ini rasanya hati ingin berlari mengejar waktu yang selalu pergi lebih cepat dari apa yang dibutuhkan.
Detik demi detik serasa pergi begitu cepatnya dalam hidupku, hiruk pikuk jalanan ibu kota membuat lalu lintas selalu ramai di pagi hari, membuat para mahasiswa kocar-kacir mengejar waktu, para pelajar SMA, SMP, dan SD tak kuasa menahan larinya di trotoar jalan demi waktu yang berlari sangat cepat, hancur berantakan pikiranku kali ini yang sebelumnya telah hancur, kali ini dihancurkan kembali sebelum sempat kupulihkan, ditambah aungan klakson mengganggu pendengaranku yang berusaha mendengar sayup-sayup bel masuk kampusku.
“Yah... telat dah gue hari ini...” sesalku sambil mengepalkan tanganku dengan keras.
            Jam tanganku telah menunjukkan pukul 7 lewat 45 menit, sementara kali ini baru terlihat di hadapanku gerbang besar dari kampusku di ibu kota. Rasa heran mulai timbul dalam benakku, mengapa waktu telah melewati batas masuk jam pertama namun gerbang masih terbuka lebar seakan menantang para mahasiswa yang datang telat.
“Woi dit! Bengong aja lu?” seorang teman satu fakultas menghancurkan heran dalam benakku sambil menepuk pundakku.
“Lah, Dani? Tumben lu telat!” kubalas tepukannya, hatiku girang karena sekarang aku telat tidak sendiri, melainkan bersama teman.
“Hah? Telat? Maksud lu apaan?” tanyanya linglung.
“Ya telat, kan sekarang jam tujuh lewat empat puluh lima! Telat masuk jam pertama!” balasku dengan lantang.
“Hahaha, jam lu tuh salah nyetting, orang sekarang masih jam tujuh lewat lima belas! Hahaha dasar si Jabro” dengan keras Ia tertawa padaku.
“Aihhh, rusuh banget sih ini jam!” balasku kesal.
            Hari yang kuanggap akan menjadi petaka bagiku, namun ternyata sebuah keindahan yang tidak ada yang dapat melampauinya, karena ini adalah hari pertamaku datang tidak telat dalam kuliahku selama 3 bulan ini, semuanya terasa berubah hanya karena sebuah ketidak sengajaan yang terjadi pada jam tanganku ini, dan itu akan membuang jabatanku selama ini dalam kelas bahwa aku satu-satunya mahasiswa yang selalu datang terlambat.
            Kulangkahkan kakiku kedalam kampus seakan tidak percaya bahwa jam ini yang merupakan barang paling berharga yang kumiliki menunjukkan waktu yang salah dan seakan semua ini adalah mimpi, hingga ketika kuberjalan, tak hentinya aku mencubiti diriku untuk memastikan apakah semua ini mimpi atau tidak.
            Ketidakpercayaan itu masih terbawa hingga ku sampai di depan pintu kelas, wajahku tertunduk malu dan kedua tangan tersilang rapih diatas tas selempang yang sengaja ku pindahkan ke depan perutku.
“Eh Rif? Lu bohong ya sama gua?” tanyaku.
“Bohong apaan Ja?” pandangan matanya menyiratkan keheranan yang begitu dalam akibat pertanyaanku.
“Gua telatkan sekarang? Iya kan?” aku memaksa Arif untuk mengatakan apa yang terjadi sebenarnya.
ngawur lu Ja! Ini masih jam tujuh lewat dua puluh! Masih sepuluh menit lagi belnya bunyi!” balasnya dengan yakin.
            Langkahku gemetar, aku memasuki kelas masih membawa rasa heranku yang begitu dalam, tak ada kepercayaan diri bahwa aku datang tidak terlambat pada hari itu. Aku mempersilahkan Arif masuk terlebih dahulu ke dalam kelas dan aku mengikutinya dibelakang, dan seketika ketika aku telah masuk ke dalam kelas, Arif pun menyerukan sebuah kata-kata pada teman-temanku yang ada di kelas, “Woi! Sekarang Jaja gak telat lagi lho!” pekiknya dengan mengepalkan tangannya di udara. Teman-temanku semuanya menyalamiku seperti memberi selamat kepada orang yang baru pulang haji, tak lupa merekapun berteriak dengan seksama, “Semoga terus begini ya si Jabro! Jaja Brother! Hahahaha”.
            Waktu terus berjalan, aku yang kali ini sangat percaya diri karena ini adalah kali pertamaku dalam hidup ini datang tepat waktu pada jam pertama, kupilih meja terdepan yang masih tersedia untuk menjadi tempat persinggahanku di jam pertama ini. Terdengar sudah bel berbunyi dan masuklah seorang lelaki dengan menghentakkan suara sepatu pantofelnya yang menggema bagai aungan serigala kelaparan yang membuat merinding telinga, dan digunakannya kemeja safari berkantong empat yang membawanya ke dalam jajaran orang berwibawa tinggi.
“Selamat pagi...” sapanya dengan lantang.
“Pagi...” kami balas sapaan itu dengan tegang.
“Siapa yang telat lagi hari ini? Jaja ya?” tuduhnya sembrono.
“Weits! Enggak dong pak Aman! Jaja ada disini!” balasku dengan pede.
“Oh... sini kamu maju kedepan!” suruhnya dengan sorot mata yang tajam.
“Lah kok gitu pak?” tanyaku heran.
“Udah sini maju dulu!” bentaknya dengan keras, dan bentakannya membuat kelas menjadi hening, tanpa suara.
“I..iya pak!” Aku meringis kesakitan karena kupingku dijewer agar cepat maju kedepan kelas.
“Nih kalian lihat, teman kalian yang biasanya datang telat, sekarang sudah bisa tepat waktu! Hebat gak?” tanyanya kepada seluruh isi kelas.
“Hebat...” seluruhnya pun menjawab serentak guna menolongku agar tidak terjadi kekerasan yang lebih parah lagi di pagi hari ini.
“Tapi! Ada tapinya nih! Sekarang dia gak bawa buku sama sekali... bener kan Ja?” tanyanya dengan memasang senyum licik.
“Eh, bawa kok! Tapi dimana yah?” balasku tegang.
“Hahaha, telat sih udah enggak, tapi ke kampus gak bawa buku? Niat belajar gak sih?” celetuk temanku di pojok sana.
“Udah duduk sana! Lain kali awas loh kalo gak bawa buku lagi!” ancam pak Aman.
“I..i..iya pak...” balasku lembut.
            Jam pertama kulewati tanpa sedikitpun materi pelajaran yang bisa kuabadikan dalam bukuku, bukan karena malas, tapi karena kecerobohanku sendiri yang tidak membawa buku itu ke kampus. Seketika saat pak Aman keluar, seluruh temanku mengejekku, “Niat gak sih sekolah Ja?”, tidak hanya itu, masih banyak cacian yang terlontar padaku, namun untungnya Arif menarikku keluar dan mengajakku untuk berbicara di kantin.
“Ja, lupain aja tadi yang terjadi di kelas!” rayunya dengan lembut.
“Iya deh Rif, pusing gua mikirin tadi, telat udah enggak, tapi malah gak bawa buku! Halaah!” sesalku sambil mengacak-ngacak rambutku.
“Haha, Eh Ja, tadi malem lu dapet surat gak?” tanyanya.
“Lah kok tahu?” balasku heran.
“Lu inget-inget dah isinya, pasti berkaitan sama kejadian yang alami sekarang...” ucapnya dengan pasti.
“Ehm... Intinya tuh surat itu bilang ke gua kalo jangan suka ceroboh? Apa maksudnya? Sekarang kan gua lagi gak hoki aja! Gak ada kaitannya lah!” bantahku.
“Apa iya itu cuman karena lu gak hoki aja? Lu tau gak itu yang ngirim siapa? Itu yang ngirim tuh pak Aman, yang tau kalo lu tuh bakal dateng gak telat di hari ini, ya karena kemarinnya udah pernah dimarahin sama dia, hahaha” jelasnya dengan lengkap.
“Oh iya ya! Eh, anterin gua ke pak Aman dong, gua mau bilang terima kasih sama dia! Gua mau janji kalo gua akan selalu tepat waktu dan gak bakal ceroboh!”Ajakku dengan lantang.
“Sip deh! Kata Ibu lu dulu juga gini kan, kunci keberhasilan itu kedisiplinan! Hahaha” sambutnya senang.
            Hari itu, metafora dalam diriku ini berubah melewati pesan seorang guru yang tak pandang kasta, yang selalu mementingkan muridnya, walau semuanya di sampaikan melalui sebuah misteri dan jam tangan kesayanganku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar